Memar yang Menjadi Ujian Pertama; Berjibaku Melawan Diabetes (Bagian 1)
Kamis, 23 Februari 2023 13:25 WIBTulisan ini adalah kisah nyata yang dialami oleh Juraidah. Namun dikemas dalam sebuah cerpen agar lebih menarik hati pembaca dan tidak terkesan membosankan. Nama dan suasana ditulis sebagaimana aslinya.
Awal mula peristiwa....
Juraidah hanya diam mendengarkan secara seksama suara di balik teleponnya. Rupanya suara itu dari Zuraini, ibu Juraidah, yang saat ini tinggal di Bener Meriah Aceh. Sedangkan Juraidah tinggal bersama suaminya di Jawa.
Selama percakapan dalam telpon nampak raut wajah sedih Juraidah. Suami Juraidah yang baru pulang dari kantor hanya bisa menatap istri yang hanya diam mendengarkan cerita dari balik telepon. Semakin lama percakapan makin menunjukkan raut sedih diwajah Juraidah. Terlihat air mata mengalir dari kedua bola matanya.
Suaminya pun tidak berani bertanya apapun tentang percakapan yang dilakukan oleh Juraidah dengan ibunya. Maklum sejak menikah pada tahun 2016 silam suaminya belum mengerti bahasa yang dipakai oleh Juraidah dan ibunya, yaitu bahasa Gayo. Karena suami Juraidah berasal dari Jawa dengan etnis Madura sedangkan Juraidah berasal dari suku Gayo di Kabupaten Bener Meriah, sehingga sama sekali tidak ada kemiripan bahasa di antara mereka.
Usai mematikan telepon, suami Juraidah bertanya perihal apa yang membuatnya bersedih. Tidak banyak berkata Juraidah justru memeluk erat suami yang sangat ia cintai. Tangis Juraidah pun semakin kencang. Suaminya mencoba menenangkannya sembari bertanya perihal apa yang membuatnya bersedih.
Dengan nada terbata-bata Juraidah menceritakan apa isi percakapan yang dilakukan bersama ibunya. Rupanya luka memar di betis ibunya tak kunjung sembuh. Namun justru, luka yang harusnya mendapatkan perawatan intensif menjadi luka yang semakin melebar. Luka memar yang sudah lama ibunya ceritakan mengalami infeksi yang cukup serius. Zuraini memang didiagnosis penderita sakit diabetes, sehingga luka sedikit saja jika tidak tertangani akan berdampak serius. Oleh karena itu secara periodik Juraidah selalu mengirimkan obat ataupun jamu untuk membantu pemulihan. Namun sayangnya berdasarkan penuturan Bram, adiknya, obat dan jamu itu jarang sekali Zuraini konsumsi. Alasannya cukup klasik karena tidak ada gejala apapun.
Kini luka memar di betis Zuraini menjadi penanda awal keseriusan dari penyakit yang ibunya derita. Berdasarkan catatan kesehatan seringkali gula darah yang dialami oleh Zuraini berada jauh di atas ambang batas. Terakhir gula darahnya berada di angka 500 mg/dL. Padahal dalam kondisi normal untuk usia 50 tahunan seperti Zuraini kadar gula darahnya tidak boleh lebih dari 150 mg/dL. Akibat dari itu membuat pandangan Zuraini mulai kabur. Cukup sulit bagi Juraidah untuk melakukan kontrol kesehatan terhadap ibunya mengingat posisi Juraida saat ini berada di Jawa. Sebenarnya Zuraini sudah beberapa kali ditawari oleh menantunya untuk tinggal di Jawa. Namun dia masih ingin merawat kebun kopi Gayo warisan dari suaminya.
Mendengar cerita dari Juraidah mengenai kondisi mertuanya, suami Juraidah langsung bergegas mengambil ponselnya. Dia segera menghubungi orang-orang yang sekiranya bisa diajak untuk konsultasi. Kemudian ingatlah dia terhadap rekan sekolah SMA-nya yang kebetulan menjadi perawat di salah satu rumah sakit negeri di daerahnya. Dia langsung menghubungi. Febri Namanya, seorang perawat yang focus pada perawatan luka. Dari percakapannya dengan Febri kemudian kawannya itu meminta difoto kan luka yang diderita oleh mertuanya. Juraidah pun kemudian meminta adiknya yang saat ini merawat ibunya untuk ambil gambar lukanya. Setelah difoto kemudian suami Junaidah mengirimkan foto luka mertuanya kepada Febri. Dari situlah kemudian Febri mengatakan bahwa lukanya kalau tidak segera ditangani akan berakibat fatal
Mendengar kabar itu Juraidah serasa kesambar petir disiang bolong. Dia semakin bersedih dan semakin merasa bersalah karena tidak bisa menemani dan merawat ibunya di saat sakit. Namun pada satu sisi dia juga bingung. Karena saat ini anaknya masih usia balita. Belum genap dua tahun usianya, sehingga cukup sulit bagi suaminya untuk mengizinkan Juraidah pulang ke Aceh untuk menemani dan merawat ibunya. Hal dikarenakan perbedaan suhu dikampung halaman Juraidah sangat jauh jika disbanding di Jawa tempat dia tinggal. Karena kampung halaman Juraidah berada di wilayab dataran tinggi Gayo yang sangat dingin. Bahkan suami Juraidah saja tidak mampu menahan dinginnya udara pagi tanpa perapian. Saking dinginnya di ruang keluarga rumah Juraidah di Gayo setiap malam selalu menyalakan perapian. Ya kurang lebih layaknya musim dingin di negara-negara eropa gitu lah.
Febri kemudian menyarankan pada suami Juraidah untuk membeli salep racikan untuk mengobati luka mertuanya. Obat salep itu kemudian dikirimkan ke Bener Meriah agar bisa diaplikasikan pada luka yang diderita oleh mertuanya. Setelah mendapatkan obat salep dikirimkan lah ke mertuanya. Setelah mengalami perjalanan beberapa hari obat pun sampai kepada mertua. Tidak perlu berpikir panjang mertua pun mengaplikasikan salep tersebut pada luka yang diderita sesuai arahan instruksi Juraidah melalui sambungan telpon video. Hari demi hari kondisi lukanya semakin membaik. Juraidah pun mulai sedikit tenang. Sediki
Beberapa minggu berselang ternyata tidak ada perkembangan baik pada kondisi lukanya. Kebiasaan makan Zuraini yang tidak terkontrol membuat kadar gulanya semakin naik. Hal itu kemudian berdampak pada kondisi lukanya yang tidak juga menunjukkan kondisi yang baik. Belum lagi sanitasi dan kebersihan lingkungan yang kurang begitu terjaga. Maklum karena mereka hidup di tengah perkebunan kopi yang sedikit sulit dengan akses Kesehatan. Semakin hari Juraidah semakin bersedih.
Suaminya pun bingung apa yang harus dia lakukan. Karena setiap pulang kantor selalu mendapati Juraidah selalu termenung karena sedih. Suami Juraidah seperti makan buah simalakama. Hendak mengizinkan istrinya pulang kampung untuk merawat ibunya pun suaminya masih was-was. Karena mengingat usia anaknya belum genap 2 tahun. Terlalu kecil bagi anaknya untuk melakukan perjalanan jauh, cukup jauh dan lama. Bahkan lebih lama dari orang berangkat Umroh. Karena untuk menuju rumah Juraidah di kampung halaman harus melakukan perjalanan 2 malam 1 hari. Itupun jika ada jadwal pesawat terbang ke rumahnya. Jika tidak maka perjalanan akan semakin lama lagi.
Hari demi hari kondisi Zuraini semakin memburuk. Nampak lukanya dari foto yang dikirimkan semakin melebar dan menunjukkan terjadinya infeksi yang serius. Hal ini juga dibenarkan oleh Febri yang mengharuskan Zuraini mendapatkan penanganan yang serius. Febri tau betul bagaimana dampak dari kondisi lukanya. Karena pasien yang dia tangani dengan kasus yang sama bukan lagi hitungan jari.
Febri kemudian memberikan obat salep racikan lagi untuk diberikan kepada Zuraini. Namun obat tersebut tidak bisa diberikan secara biasa seperti sebelumnya. Tetapi perlu cara-cara yang harus dilakukan sesuai arahan dan perintah Febri. Mendengarkan paparan dari Febri Juraidah pesimis jika obat itu hanya dikirimkan begitu saja seperti salep yang sebelumnya. Karena siapa yang akan mengaplikasikan salepnya nanti.
Karena kekhawatiran itu Juraidah kemudian memohon izin kepada suaminya agar bisa mengantarkan obat salep tersebut secara langsung pada Zuraini. Suaminya bingung apa yang harus dilakukan. Satu sisi cuaca yang berada di rumah Juraidah kampung halaman sangat ekstrem. Suami Juraidah meminta waktu selama 3 hari untuk berpikir bagaimana jalan terbaiknya. Juraidah pun mengiyakan dia bersedia menunggu selama 3 hari jawaban tersebut namun belum genap 3 hari keesokan harinya Juraidah sudah menanyakan keputusannya.
“Tunggu saja dulu 2 hari lagi nanti akan aku jawab aku masih berfikir dan beristikhoroh bagaimana baiknya,” jawab suami Juraidah.
Tepat pada hari ke-3 akhirnya ada jawaban dari suami Juraidah. Sebuah jawaban yang rasanya 3 tahun lamanya dia menunggu......
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Memar yang Menjadi Ujian Pertama; Berjibaku Melawan Diabetes (Bagian 1)
Kamis, 23 Februari 2023 13:25 WIBIbrah Agung
Selasa, 21 Februari 2023 14:12 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler